Pengembangan teknologi di Indonesia, terutama teknologi yang digunakan
untuk pelayanan publik dan pendidikan, diharapkan akan dibantu oleh
Microsoft dalam menyediakan infrastruktur, e-government, e-education,
dan dukungan bagi industri Teknologi Informasi dan Komunikasi. Menurut
Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional yang diketuai oleh
Menkominfo Sofyan Djalil, Microsoft diundang menjadi penasihat atau
konsultan teknologi Dewan TIK Nasional dalam pengembangan jaringan
telekomunikasi, terutama dalam penyediaan akses teknologi bagi para
pelajar dan masyarakat di pedesaan. Dengan pemanfaatan teknologi yang
dimiliki dan dikembangkan Microsoft ini, diharapkan individu dan
masyarakat dapat menciptakan alat untuk meningkatkan produktivitas dan
mendorong pembangunan ekonomi, mengembangkan e-education, serta
meningkatkan keterampilan Teknologi Informasi dan pertumbuhan industri
TIK. Dukungan Microsoft di bidang peningkatan keterampilan TI serta
memberdayakan industri domestik tersebut, sudah lama dilakukan dalam
upaya membantu Indonesia bergerak ke arah perekonomian berbasis
pengetahuan.
Dewan TIK sendiri diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
yang terjun langsung sabagai Ketua Pengarah, di Istana Bogor. Dewan TIK
Nasional merupakan kelompok kerja yang dibentuk untuk mendorong
penggunaan komunikasi di Indonesia. Tugas Dewan TIK Nasional adalah
merumuskan kebijakan umum dan arahan strategis pembangunan melalui
pendayagunaan TIK, yakni dengan melakukan pengkajian penerapan langkah
penyelesaian masalah yang timbul dalam pengembangan TIK secara
nasional. Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, Dewan TIK Nasional
berupaya mengmbangkan e-leadership dan melakukan koordinasi seluruh
elemen bangsa melalui peningkatan kualitas prasarana serta sarana TI
dan pengembangan inovasi guna menuju era mesyarakat informasi
teknologi. Tugas pokok Dewan TIK adalah mewujudkan masyarakat berbasis
pengetahuan pada tahun 2005, dengan menciptakan pembangunan melalui TIK
yang terdiri dari penguatan basis TIK pendidikan dan Hak Atas Kekayaan
Intelektual (HAKI).
Indonesia diperkirakan membutuhkan pengadaan jaringan ke 43 ribu desa,
32 ribu SMP dan SMA, 2 ribu perguruan tinggi, termasuk koneksi ke rumah
sakit dan instansi pemerintah serta departemen dari pusat sampai
daerah, agar nanti seluruh Indonesia terhubung dengan fiber optic.
Sampai saat ini pun, Dewan TIK Nasional telah menginventarisir sejumlah
program bidang TIK, termasuk diantaranya upaya-upaya melegalisasi
software yang digunakan pemerintah, karna yang terpenting adalah
legalisasi software yang dipergunakan tersebut. Ada dua pendekatan yang
dipakai, untuk Departemen Ristek dan PTN, yaitu Indonesia Goes Open
Source (IGOS). Sedang di luar dua itu, legal software-nya adalah yang
hak intelektualnya akan pemerintah legalkan.
Dari pertemuan antara Presiden SUsilo Bambang Yudhoyono dengan Craig
Mundie, Chef Research and Srategy Officer Microsoft Corp., diumumkan
nota kesepahaman (MoU) pemakaian software Microsoft legal di kalangan
pemerintah dan BUMN. Namun, tidak disebutkan berapa nilai lisensi
software yang disepakati dalam MoU, maupun jumlah komputer yang
diinstalasi software berlisensi Microsoft.
Ini menimbulkan reaksi dari beberapa pihak yang menginginkan adanya
upaya dalam memperbanyak dan memperkuat perusahaan-perusahaan software
lokal, serta upaya-upaya konkrit untuk melindungi hak cipta software,
untuk mengupayakan pertumbuhan ekonomi berbasis pengetahuan.
Akhir bulan lalu, pemerintah berencana membentuk komite nasional demi
mendorong pertumbuhan TI dan menunjuk Menko Perekonomian Boediono untuk
menyiapkan cetak biru Komite Nasional Teknologi Informasi. Boediono
juga diminta menyusun rencana pengembangan TI untuk 2-3 tahun ke depan.
Dana sebesar Rp. 50-100 miliar telah diajukan dalam Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2007, yang akan disalurkan untuk
membantu pengembangan teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia.
Dana itu nantinya akan berupa sebuah ‘kolam modal’ yang bisa
dialokasikan untuk berbagai upaya pengembangan industri terkait TI.
Dalam breakfast meeting yang dihadiri perwakilan empat perguruan
tinggi–ITS, ITB, UI dan UGM–serta asosiasi pengusaha di bidang
TI–antara lain APJII dan IMOCA, diputuskan bahwa pemerintah akan
menerapkan kebijakan right of way dalam hal infrastruktur. Pihak yang
memiliki infrastruktur dilarang memblokir pihak lain dan harus membuka
jalur kerjasama. Dengan adanya kebijakan tersebut, diharapkan para
penyelenggara jasa internet bisa memanfaatkan infrastruktur dari pihak
lain, seperti yang telah dimiliki oleh PLN atau Telkom.
Pemerintah pun, melalui Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi,
segera menggodok rancangan regulasi tentang pengamanan telekomunikasi
berbasis protokol internet, berdasarkan masukan dari konsultan publik
yang bertujuan untuk menciptakan pemanfaatan internet yang aman.
Regulasi inilah yang menjadi dasar penyusunan konsep ID-SIRTII
(Indonesia Security Incident Responses Team on Information
Infrastructure). ID-SIRTII merupakan lembaga yang dibentuk sesuai
Peraturan Menteri tentang Pengamanan Pemanfaatan Jaringan
Telekomunikasi Berbasis Protokol Internet. Dalam pelaksanaannya, Postel
tidak menutup kemungkinan akan adanya tenaga profesional yang disewa
untuk membantu pelaksanaan ID-SIRTII. Tugas-tugas yang dilaksanakan
ID-SIRTII mencakup perekaman log file penggunaan internet dari seluruh
penyedia jasa internet di Indonesia. Tim ID-SIRTII sendiri akan terdiri
atas tim pengarah dan tim pelaksana. Tim pengarah antara lain akan
mencakup unsur Bank Indonesia, asosiasi terkait, akademisi, Kepolisian,
hingga Kejaksaan.
Dalam usulan, disampaikan agar ada klausul yang menyebutkan bahwa
pengguna, pelanggan, penyelenggara Internet Service Provider (ISP) dan
Network Service Provider (NAP) dilarang mengganggu atau merusak suatu
jaringan, dilarang membuka service SMPT mail server yang dapat
digunakan oleh semua pengguna di mana pun. Serta larangan untuk
melakukan spamming (mengirimkan e-mail yang berisi hal-hal yang tidak
diinginkan dan kadang dikirimkan oleh orang yang tidak dikenal
sebelumnya). Selain itu, larangan seperti hacking (membobol jaringan
untuk tujuan yang berpotensi melanggar hukum), flooding (mengirimkan
e-mail yang berlebihan hingga melebihi kuota), spoofing
(menyalahgunakan e-mail sehingga menimbulkan protes), hoax (mengirimkan
e-mail yang bersifat penipuan atau menakut-nakuti), pemalsuan e-mail,
serta tindakan-tindakan lain yang bertujuan bertentangan dengan
kesusilaan dan ketertiban–misal pornografi, perjudian, ancaman, fitnah,
mepertentangkan SARA dan lain sebagainya.
Menurut keterangan yang disampaikan oleh anggota Badan Reserse Kriminal
Kepolisian RI Direktorat II Ekonomi dan Khusus Unit V Infotek-Cyber
Crime, Komisaris Polisi Idam Wasiadi, pada Seminar Nasional Sehari
Information Technology Security di Hotel Horison Bandung, Indonesia
menduduki peringkat tertinggi sebagai pelaku cyber crime atau kejahatan
internet. Sebesar 90 persennya adalah kejahatan carding atau pemalsuan
kartu kredit. Kecenderungan ini diduga akan terus meningkat. Tahun 2004
saja, sebagai negara dengan kejahatan carding kedua terbanyak setelah
Ukraina, Indonesia memiliki kejahatan carding mencapai 177 dari 192
kasus kejahatan internet. Sedang tahun sebelumnya, kejahatan carding di
Indonesia terhitung 145 dari 153 kasus total kejahatan internet. Hampir
seluruhnya bermotifkan ekonomi, yang bahkan sebagian besar pelakunya
adalah mahasiswa. Kesimpulan ini ditarik dari persentasi yang dilakukan
di lapangan, yaitu 48 persen pengguna internet adalah usia 22-25 tahun,
yang notabene merupakan kalangan mahasiswa. Daerah Yogyakarta menduduki
peringkat tertinggi untuk kasus kejahatan carding, disusul oleh
Semarang, Bandung, Jakarta, Medan, Surabaya, dan Riau. Sedangkan negara
yang paling sering menjadi korban sasaran kejahatan carding dari
Indonesia dengan persentasi sekitar 84 persen adalah Amerika Serikat.
Meningkatnya kejahatan jenis ini disebabkan belum adanya undang-undang
tentang kejahatan internet di Indonesia, ditambah lagi kemajuan
teknologi yang pesat–sebab IT crime itu didukung sendiri oleh kemajuan
teknologinya. Ketiadaan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
sebenarnya dihambat oleh sikap masyarakat yang apatis terhadap masalah
ini. Padahal RUU ITE tersebut sudah diajukan selama tiga tahun ini,
namun belum juga disetujui oleh DPR.
Terjadinya konvergensi teknologi komunikasi dan penyiaran harus diikuti
dengan perkembangan regulasi yang dapat mendukung berlangsungnya
penyelenggaraan di sektor telekomunikasi dan penyiaran. Internet adalah
salah satu bentuk nyata dari konvergensi ini, dimana unsur-unsur
telekomunikasi, media, dan informatika menjadi terintegrasi. Percakapan
telepon, baik lokal, interlokal maupun internasional, dapat dilakukan
melalui teknologi internet. Demikian juga kegiatan media dalam bentuk
penyiaran dan informasi dari pers, dapat diselenggarakan melalui medium
internet. Namun, konvergensi tersebut memerlukan kebijakan yang
integral dan tidak dapat berdiri sendiri-sendiri. Selain itu,
diperlukan adanya pengaturan-pengaturan keamanan yang jelas untuk
menghindari meningkatnya kejahatan akibat dari digitalisasi dan
kemajuan teknologi.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpendapat bahwa masa depan negara
Indonesia akan cerah jika dua dunia pentingnya berkembang dengan baik.
Yang pertama, education, yang berkaitan dengan human capital. Sedang
yang kedua adalah good governance yang mengelola semua resources dengan
baik. Masyarakat informasi yang mampu menciptakan, mengakses, dan
memanfaatkan berbagai pengetahuan yang sedang dikembangkan saat ini
adalah upaya yang dilakukan pemerintah dalam mengimbangi pesatnya
perkembangan teknologi dan komunikasi di seluruh dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar